Naskah ini pernah jadi salah satu juara favorit Lomba Menulis Cerpen Remaja-Rohto 2009.
Aku membenamkan diri di kursi empuk Shinkansen, bersiap-siap tidur. Sebuah acara televisi minggu lalu membahas alasan mengapa penumpang kereta mudah tertidur. Kereta terguncang dengan halus secara teratur setiap kali rodanya melewati sambungan rel. Irama guncangan ini hampir sama dengan irama denyut jantung. Membuat tubuh menjadi rileks. Apalagi karena aku sudah terbangun sejak jam 5 subuh.
“Ohayou gozaimasu! Rina-san desu ne?” Seorang pria berusia sekitar 40-an menyambutku di stasiun.
“Hai!” Uap embun keluar dari mulutku.
Sudah hampir tiga tahun aku melakukan pekerjaan ini. Memperkenalkan kebudayaan
Salju bertengger di atap-atap gedung, membungkus dahan-dahan kayu yang telanjang dan jatuh bertumpuk di kedua bahu jalan.
Mobil diparkir di halaman sekolah dan kami pun turun.
“Wahh…sekolahnya besar juga ya! Ookii !” gedung bertingkat tiga berwarna kuning gading berbentuk huruf L mengelilingi sebuah lapangan baseball menyambut kami..
“Sou desu ne..sebenarnya terlalu besar. Lantai tiga hanya kami gunakan sebagai gudang saja. Dulu memang murid kami banyak sekali.” Kim Sensei menjelaskan, akibat urbanisasi dan berkurangnya populasi orang Jepang dari tahun ke tahun, sekolah-sekolah negeri di
Aku mengganti sepatu dengan selop yang sudah disediakan untuk tamu. Murid-murid di Jepang mengenakan selop atau sepatu khusus yang digunakan di dalam gedung sekolah. Demikian pula dengan guru-gurunya. Itulah sebabnya rak sepatu yang berderet-deret merupakan pemandangan umum yang ditemui pertama kali seseorang menginjakkan kakinya di dalam gedung sekolah. Satu rak untuk satu murid. Di hari Valentine, anak-anak pria yang beruntung, bisa saja menemukan coklat di dalamnya. Hadiah dari penggemar yang terlalu malu untuk menyerahkan isyarat rasa suka itu secara langsung.
Dingin menyengat telapak kakiku. Selop yang diberikan sangat tipis. Lantai kayu di bawahnya terasa keras dan tidak menyambutku dengan hangat.
“Youkoso, selamat datang di SD Sakuragaoka.” Aku menunduk dalam-dalam, membalas ojigi para guru. Senang rasanya disambut dengan demikian formal. Rasanya seperti orang penting saja! Padahal di kampusku, aku bukanlah siapa-siapa. Hanya sebuah nomor induk di antara ribuan mahasiswa lain.
“Ini ruang makan siang untuk guru. Rina-san bisa istirahat di sini sambil menunggu jam pelajaran.” Masih ada setengah jam lagi sebelum aku bertugas. Kim Sensei bergegas menyedu teh hijau dan menyuguhkan dua buah mochi berisi anko, kacang merah yang sudah dihaluskan. Ia pun duduk di sampingku dan menyeruput tehnya. Uap panas membentuk kabut di kacamatanya.
“Rina-san lahir di
“Eee…? Sou desu.” Aku mengiyakan dengan bingung.
“Oh…saya pikir Rina-san lahir di Cina. Orang
“Saya memang sebenarnya orang Cina. 100%! Tapi kakek saya pun lahir di
“Ooo..” Dia pun mengangguk-angguk. Kemudian terdiam, menatap buih-buih di permukaan tehnya. Kali ini aku pun merasa wajib membuka percakapan.
“Shitsurei desu ga, Kim Sensei orang
“Sou desu. Betul. Saya juga sama seperti anda. Orang
“Apa kamu tidak di-ijime?” tanyanya serius.
“Ijime?”
“Ya…apa sebagai kaum minoritas di
“Aaa…ya…ada…sedikit-sedikit.”
“Haa…yappari!” Ternyata Kim Sensei adalah tipe orang yang suka mengajukan pertanyaan ke lawan bicara untuk megarahkan percakapan ke dirinya sendiri. Ia kemudian dengan seru menceritakan masa kecilnya. Berpuluh-puluh tahun yang lalu, hidup di Jepang untuk orang-orang
40 tahun lalu, ketika Kim Sensei masih kecil, ketika isu hak asasi manusia belum menjadi standar, ia harus diam saja kalau teman-teman di sekolah mengejek-ejeknya. Dia dikata-katai, dikucilkan dan dianggap tidak ada. Sementara anak-anak lain berkejar-kejaran di halaman sekolah, buku adalah satu-satunya teman Kim Sensei selama waktu istirahat.
“Tapi sekarang tidak lagi lho! Orang Jepang sekarang sangat baik sama saya. Generasi muda sekarang malah tergila-gila dengan makanan
“Sekarang, saya bangga jadi orang
“Tentu Rina-san mengerti perasaan saya. Semakin sering Rina-san bercerita tentang
“Ahh…umm…” Seandainya saja aku bisa mencintai negaraku setulus Kim Sensei.
“Sebenarnya…tidak juga…” aku memilih jujur daripada bohong menjaga citra.
“He..nande? Kenapa?”
“Saya justru merasa munafik. Menerima uang dari pekerjaan seperti ini. Memperkenalkan negara saya, supaya orang lain suka. Padahal, saya sendiri tidak.” Cerita Kim Sensei tentang masa kecilnya membuatku merasa dekat dengannya. Tidak ada salahnya berbagi dengannya. Pengakuanku pun mengalir begitu saja. Seperti bercerita ke seorang teman lama.
Kerusuhan sepuluh tahun yang lalu, pada bulan Mei 1998, telah mengubah jalan hidup keluargaku. Ruko kami dibobol dan dijarah. Untungnya orang tua dan adik laki-lakiku sudah mengungsi. Aku sendiri, sedang berada di Jepang. Setelah kejadian itu, mereka sempat kembali ke rumah untuk mengemas barang-barang yang masih tertingal. Keadaan di dalam rumah membuat Mama terlalu trauma untuk membereskannya kembali. Semua peralatan elektronik lenyap. Cermin di kamar Mama, pakaian dalam yang sedang dijemur, bahkan sendok pun diambil. Adikku masih sedikit beruntung. Piala kejuaraan bulu tangkis antar sekolah-nya masih utuh.
Papa kemudian memutuskan untuk hijrah ke Amerika. Ia percaya, Amerika adalah negara liberal yang benar-benar bisa menerima imigran dengan tulus. Berbekal
“Kenapa mereka tidak ke mari? ‘
“Mereka tidak mau menyusahkan saya. Sebagai mahasiswa yang hidup dari beasiswa yang pas-pasan, hidup saya sudah cukup sulit. Lagipula, susah bagi mereka untuk tinggal di negara yang bahasanya sama sekali asing.” Kim Sensei mengangguk-angguk. Matanya penuh dengan simpati keprihatinan.
“Ayah saya dulu usahawan di
“Ibu saya bekerja sebagai cleaning service.” Aku tidak bisa melupakan apa yang kulihat waktu pergi mengunjungi mereka di
“Tapi adik kamu sekarang sekolah di
“Adik saya .. keluar dari rumah pun, tidak.” Entah apa yang dipikirkan Andre. Mungkin kejadian itu membuatnya jauh lebih shock daripada siapa pun juga. Andre si anggota OSIS, juara badminton, ketua kelas, Andre yang selalu mendapat telpon dari teman-teman perempuan, tiba-tiba saja harus pindah ke lingkungan baru pada masa yang labil. Mungkin bahasa Inggris yang asing baginya, yang membuatnya membisu. Mungkin juga dia kehilangan rasa percaya diri, begitu ia kehilangan pengagum-pengagumnya. Andre mengurung diri dalam kamar dengan komputer dan gitarnya. Ia tidak mau pergi ke sekolah dan hanya keluar pada jam-jam tertentu ke ruang makan dan kamar mandi. Ia seperti orang linglung. Seperti tanaman layu yang tiba-tiba dicabut dari akarnya.
“Dulu, waktu saya kecil, semuanya begitu indah. Kami diajar untuk cinta tanah air di sekolah. Saya percaya apa yang saya baca di buku pelajaran. Semua suku sama. Semua satu bangsa. Tapi ternyata…” Sehembus nafas yang berat keluar dari dadaku yang sesak.
“Saya merasa dikhianati. ” Lega. Kim Sensei pasti bisa mengerti perasaanku. Khawatir. Apa dia akan mengijinkan seorang munafik bercerita bak seorang patriotis kepada anak-anak muridnya? Malu. Aku penipu yang menjual cerita demi uang sepeser.
Tapi Kim Sensei justru menggelengkan kepalanya keras-keras.
“Tidak. Rina-san tidak perlu merasa dikhianati. Kamu tidak perlu merasa dirimu munafik. Tanah airmu ada di dalam hatimu. Teman-teman kamu, pelajaran di sekolahmu, lapangan tempat kamu bermain, lingkungan tempat kamu besar. Itu semua tidak akan berubah. Apa yang ada di dalam hatimu, tidak bisa direnggut oleh sebuah noda dalam sejarah. Kamu tetap orang
Entah kapan terakhir kalinya aku merasa terhempas oleh kata-kata. Ucapan Kim Sensei seolah menyibakkan kabut, secercah sinar menghangatkan hatiku yang terluka.
“Arigatou Gozaimasu.” Ucapan terima kasihku hampir tidak terdengar, tersaru oleh suara bel pelajaran. Tapi Kim Sensei pasti tahu ia telah membuat mataku terbuka. Ia tersenyum senang. Pipinya berkilat-kilat merah.
“Sudah waktunya Rina-san mengajar.” Aku mengangguk dan mengikutinya dari belakang. Suara bangku-bangku yang digeser dan pintu-pintu yang terbuka membahana dengan semarak di lorong sekolah. Semeriah gemuruh di dadaku.
Aku bukan seorang munafik. Aku cinta kampung halamanku. Aku mau bercerita tentang gunung-gunung dan lembahnya. Tentang kehangatan mataharinya. Tentang keakraban yang ditawarkan orang tak dikenal di dalam bus. Tentang ibu pertiwi yang selalu ada di dalam hatiku. Tentang tanah air-KU.
Catatan
Shinkansen - kereta super cepat antar
Ohayou gozaimasu – selamat pagi
Desu ne – (afirmasi) ‘
Hai – iya
Ookii – besar
Sou desu ne – (persetujuan) iya, betul
Youkoso – selamat datang
Sou desu – iya betul
Shitsurei desu ga – (dipakai untuk menanyakan sesuatu yang sensitif) Maaf,
Ijime – (Inggris : bully) diskriminasi
Hokori ni omotte imasu –merasa bangga
He..nande? – Eee…kenapa?
Arigatou gozaimasu – terima kasih
*Organisasi pendidikan yang dimaksud dapat dilihat di http://www.kokusai-kyoiku.or.jp/