Friday, January 29, 2010

Tanah Air-ku

Naskah ini pernah jadi salah satu juara favorit Lomba Menulis Cerpen Remaja-Rohto 2009.  


Aku membenamkan diri di kursi empuk Shinkansen, bersiap-siap tidur. Sebuah acara televisi minggu lalu membahas alasan mengapa penumpang kereta mudah tertidur. Kereta terguncang dengan halus secara teratur setiap kali rodanya melewati sambungan rel. Irama guncangan ini hampir sama dengan irama denyut jantung. Membuat tubuh menjadi rileks. Apalagi karena aku sudah terbangun sejak jam 5 subuh.

    Ohayou gozaimasu! Rina-san desu ne?” Seorang pria berusia sekitar 40-an menyambutku di stasiun.

    Hai!” Uap embun keluar dari mulutku. Koriyama terletak di sebelah Utara Tokyo, dan itu otomatis berarti, beberapa derajat lebih dingin! Ia membungkukkan tubuh dalam-dalam dan memperkenalkan diri sebagai guru Sekolah Dasar Sakuragaoka, yang akan aku kunjungi. Aku pun duduk di samping kursi pengemudi. Barang-barang bawaanku di belakang. Satu set angklung, boneka-boneka berpakaian baju daerah berbagai suku di Indonesia, buah-buah mainan dari plastik: durian, sawo, srikaya, rambutan, manggis. Tidak ketinggalan pula poster-poster dan video pariwisata yang memamerkan keelokan alam Indonesia.

Sudah hampir tiga tahun aku melakukan pekerjaan ini. Memperkenalkan kebudayaan Indonesia kepada murid-murid sekolah di Jepang. Tentu saja kusesuaikan dengan jadwal kuliah sehingga tidak mengganggu pelajaran. Ini hanya sekedar pekerjaan selingan untuk memperoleh uang saku. Aku datang ke Jepang sebagai pelajar, dan sekolah adalah yang paling utama untukku. Ketika sebuah lowongan yang mencari mahasiswa-mahasiswa asing untuk mengajarkan kebudayaan negara asal kepada murid sekolah Jepang kutemukan di papan pengumuman sekolah, aku segera mendaftar. Iseng. Ternyata aku terpilih bersama 26 orang mahasiswa asing lain dari berbagai negara. Cina, Australia, Ghana, Pakistan, sebut saja! Semuanya ada. Setiap tahun ada saja murid dari negara baru yang direkrut. Kami tergabung dalam organisasi pendidikan*) yang didukung oleh Monbusho, Depdikbud Jepang. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan pengertian murid-murid Jepang akan kebudayaan negara lain. Diharapkan, dengan mempelajari hal-hal yang menarik dari negara lain, anak-anak Jepang ini pun menyadari akan keunikan negara mereka sendiri, dan kelak, juga bisa dengan bangga memperkenalkan negaranya kepada orang lain seperti kami.

Salju bertengger di atap-atap gedung, membungkus dahan-dahan kayu yang telanjang dan jatuh bertumpuk di kedua bahu jalan. Koriyama adalah kota kecil di Fukushima Perfecture, yang memang terkenal akan ketebalan saljunya. Di dalam hati aku bersyukur karena tinggal di Tokyo yang lebih hangat. Tulang-tulangku dibentuk di negara tropis, udara dingin bisa membuatnya berkeretak.

Mobil diparkir di halaman sekolah dan kami pun turun.

“Wahh…sekolahnya besar juga ya! Ookii !” gedung bertingkat tiga berwarna kuning gading berbentuk huruf L mengelilingi sebuah lapangan baseball menyambut kami..

Sou desu ne..sebenarnya terlalu besar. Lantai tiga hanya kami gunakan sebagai gudang saja. Dulu memang murid kami banyak sekali.” Kim Sensei menjelaskan, akibat urbanisasi dan berkurangnya populasi orang Jepang dari tahun ke tahun, sekolah-sekolah negeri di kota kecil seperti Koriyama harus menanggung akibatnya. Megap-megap menyeimbangkan subsidi dari pemerintah dengan mutu pendidikan. Kami berjalan dengan hati-hati. Aspal terasa licin karena salju semalam sudah membeku, membentuk lapisan keras yang menyelimuti jalan bagaikan lantai gelas.

Aku mengganti sepatu dengan selop yang sudah disediakan untuk tamu. Murid-murid di Jepang mengenakan selop atau sepatu khusus yang digunakan di dalam gedung sekolah. Demikian pula dengan guru-gurunya. Itulah sebabnya rak sepatu yang berderet-deret merupakan pemandangan umum yang ditemui pertama kali seseorang menginjakkan kakinya di dalam gedung sekolah. Satu rak untuk satu murid. Di hari Valentine, anak-anak pria yang beruntung, bisa saja menemukan coklat di dalamnya. Hadiah dari penggemar yang terlalu malu untuk menyerahkan isyarat rasa suka itu secara langsung.

Dingin menyengat telapak kakiku. Selop yang diberikan sangat tipis. Lantai kayu di bawahnya terasa keras dan tidak menyambutku dengan hangat.

Youkoso, selamat datang di SD Sakuragaoka.” Aku menunduk dalam-dalam, membalas ojigi para guru. Senang rasanya disambut dengan demikian formal. Rasanya seperti orang penting saja! Padahal di kampusku, aku bukanlah siapa-siapa. Hanya sebuah nomor induk di antara ribuan mahasiswa lain.

“Ini ruang makan siang untuk guru. Rina-san bisa istirahat di sini sambil menunggu jam pelajaran.” Masih ada setengah jam lagi sebelum aku bertugas. Kim Sensei bergegas menyedu teh hijau dan menyuguhkan dua buah mochi berisi anko, kacang merah yang sudah dihaluskan. Ia pun duduk di sampingku dan menyeruput tehnya. Uap panas membentuk kabut di kacamatanya.

“Rina-san lahir di Indonesia?”

“Eee…? Sou desu.” Aku mengiyakan dengan bingung.

“Oh…saya pikir Rina-san lahir di Cina. Orang Indonesiakan kulitnya cokelat. Rina-san tidak seperti orang Indonesia.” Aku tertawa mendengarnya. Rupanya ia melempar umpan, mencari-cari bahan percakapan untuk mengisi waktu. Aku pun menyambutnya.

“Saya memang sebenarnya orang Cina. 100%! Tapi kakek saya pun lahir di Indonesia. Jadi sebenarnya saya jauh lebih Indonesia daripada Cina. Saya sudah tidak bisa bicara dalam bahasa Cina.”

“Ooo..” Dia pun mengangguk-angguk. Kemudian terdiam, menatap buih-buih di permukaan tehnya. Kali ini aku pun merasa wajib membuka percakapan.

Shitsurei desu ga, Kim Sensei orang Korea?”

Sou desu. Betul. Saya juga sama seperti anda. Orang Korea yang tidak bisa bicara bahasa Korea!” Kim Sensei mengakhirinya dengan tawa yang keras. Suara tawanya menghangatkan suasana dan kami pun jadi lebih lancar bercakap-cakap. Ia bercerita kalau kadang-kadang ia bingung, apakah dirinya orang Korea atau orang Jepang. Beberapa orang Korea yang ia kenal mencemoohnya karena ia sudah tidak bisa berbicara dalam bahasa Korea lagi, sementara orang Jepang selalu menggodanya, mengatakan bahwa Kim Chee adalah makanan pokoknya.

“Apa kamu tidak di-ijime?” tanyanya serius.

Ijime?”

“Ya…apa sebagai kaum minoritas di Indonesia, kamu tidak di-diskriminasi?”

“Aaa…ya…ada…sedikit-sedikit.”

“Haa…yappari!” Ternyata Kim Sensei adalah tipe orang yang suka mengajukan pertanyaan ke lawan bicara untuk megarahkan percakapan ke dirinya sendiri. Ia kemudian dengan seru menceritakan masa kecilnya. Berpuluh-puluh tahun yang lalu, hidup di Jepang untuk orang-orang Korea tidaklah mudah. Mereka didiskriminasi. Letak Korea dan Jepang yang berdampingan membuat hubungan mereka tidak pernah benar-benar akur. Ada saja insiden-insiden yang menganggu hubungan kedua negara tersebut. Jepang pernah menduduki Korea di masa lalu, mereka juga berebut pulau dan wilayah laut di daerah perbatasan. Korea menuduh Jepang menyembunyikan kejahatan perang Jepang di masa lalu dan tidak mengajarkannya pada generasi muda di Jepang, sementara itu, ada orang-orang Jepang yang diculik oleh Korea Utara untuk dijadikan mata-mata. Sengketa bukan hanya terjadi dalam bidang geopolitis, bahkan dalam bidang budaya. Beberapa kasus hak cipta muncul karena para musisi Korea dianggap menjiplak karya artis Jepang.

40 tahun lalu, ketika Kim Sensei masih kecil, ketika isu hak asasi manusia belum menjadi standar, ia harus diam saja kalau teman-teman di sekolah mengejek-ejeknya. Dia dikata-katai, dikucilkan dan dianggap tidak ada. Sementara anak-anak lain berkejar-kejaran di halaman sekolah, buku adalah satu-satunya teman Kim Sensei selama waktu istirahat.

“Tapi sekarang tidak lagi lho! Orang Jepang sekarang sangat baik sama saya. Generasi muda sekarang malah tergila-gila dengan makanan Korea yang pedas, dan ibu-ibu kepincut sama bintang-bintang drama Korea.” Lagi-lagi Kim Sensei mengakhiri kalimatnya dengan tawa.

“Sekarang, saya bangga jadi orang Korea. Hokori ni omotte imasu. Murid-murid selalu bertanya ini dan itu tentang budaya kami. Karena tidak pernah tinggal di sana, saya jadi terpaksa mencari informasi ke sana ke mari. Saya belajar kebudayaan saya sendiri dari internet atau dari buku-buku. Semakin saya belajar, semakin saya cinta pada negeri saya.” Aku tersenyum dan mengangguk-angguk. Ada secercah perasaan iri yang tertahan.

“Tentu Rina-san mengerti perasaan saya. Semakin sering Rina-san bercerita tentang Indonesia, tentu semakin suka.”

“Ahh…umm…” Seandainya saja aku bisa mencintai negaraku setulus Kim Sensei.

“Sebenarnya…tidak juga…” aku memilih jujur daripada bohong menjaga citra.

He..nande? Kenapa?”

“Saya justru merasa munafik. Menerima uang dari pekerjaan seperti ini. Memperkenalkan negara saya, supaya orang lain suka. Padahal, saya sendiri tidak.” Cerita Kim Sensei tentang masa kecilnya membuatku merasa dekat dengannya. Tidak ada salahnya berbagi dengannya. Pengakuanku pun mengalir begitu saja. Seperti bercerita ke seorang teman lama.

Kerusuhan sepuluh tahun yang lalu, pada bulan Mei 1998, telah mengubah jalan hidup keluargaku. Ruko kami dibobol dan dijarah. Untungnya orang tua dan adik laki-lakiku sudah mengungsi. Aku sendiri, sedang berada di Jepang. Setelah kejadian itu, mereka sempat kembali ke rumah untuk mengemas barang-barang yang masih tertingal. Keadaan di dalam rumah membuat Mama terlalu trauma untuk membereskannya kembali. Semua peralatan elektronik lenyap. Cermin di kamar Mama, pakaian dalam yang sedang dijemur, bahkan sendok pun diambil. Adikku masih sedikit beruntung. Piala kejuaraan bulu tangkis antar sekolah-nya masih utuh.

Papa kemudian memutuskan untuk hijrah ke Amerika. Ia percaya, Amerika adalah negara liberal yang benar-benar bisa menerima imigran dengan tulus. Berbekal surat keterangan polisi bahwa mereka telah dijarah, Papa berhasil mengantongi visa Asylum.

“Kenapa mereka tidak ke mari? ‘Kan di sini ada kamu?” tanya Kim Sensei.

“Mereka tidak mau menyusahkan saya. Sebagai mahasiswa yang hidup dari beasiswa yang pas-pasan, hidup saya sudah cukup sulit. Lagipula, susah bagi mereka untuk tinggal di negara yang bahasanya sama sekali asing.” Kim Sensei mengangguk-angguk. Matanya penuh dengan simpati keprihatinan.

“Ayah saya dulu usahawan di Indonesia, sekarang ia hanya jadi pengantar barang.” Dengan getir kubayangkan otot-otot Papa yang tidak muda lagi harus mengangkut beban berat ke sana ke mari.

“Ibu saya bekerja sebagai cleaning service.” Aku tidak bisa melupakan apa yang kulihat waktu pergi mengunjungi mereka di sana. Mama pulang larut malam seusai membersihkan gedung-gedung kantor. Ia mengenakan seragam biru pucat dengan nama yang tersulam di dada. Ada kerut-kerut lelah di wajahnya yang ia bawa pulang. Garis-garis yang dulu tidak ada karena selalu diulasi krim-krim kosmetik mahal yang dibelikan Papa sewaktu masih di Indonesia.

“Tapi adik kamu sekarang sekolah di sanakan? Kalau dia sudah lulus dan bekerja, pasti kehidupan mereka akan jadi lebih baik.”

“Adik saya .. keluar dari rumah pun, tidak.” Entah apa yang dipikirkan Andre. Mungkin kejadian itu membuatnya jauh lebih shock daripada siapa pun juga. Andre si anggota OSIS, juara badminton, ketua kelas, Andre yang selalu mendapat telpon dari teman-teman perempuan, tiba-tiba saja harus pindah ke lingkungan baru pada masa yang labil. Mungkin bahasa Inggris yang asing baginya, yang membuatnya membisu. Mungkin juga dia kehilangan rasa percaya diri, begitu ia kehilangan pengagum-pengagumnya. Andre mengurung diri dalam kamar dengan komputer dan gitarnya. Ia tidak mau pergi ke sekolah dan hanya keluar pada jam-jam tertentu ke ruang makan dan kamar mandi. Ia seperti orang linglung. Seperti tanaman layu yang tiba-tiba dicabut dari akarnya.

“Dulu, waktu saya kecil, semuanya begitu indah. Kami diajar untuk cinta tanah air di sekolah. Saya percaya apa yang saya baca di buku pelajaran. Semua suku sama. Semua satu bangsa. Tapi ternyata…” Sehembus nafas yang berat keluar dari dadaku yang sesak.

“Saya merasa dikhianati. ” Lega. Kim Sensei pasti bisa mengerti perasaanku. Khawatir. Apa dia akan mengijinkan seorang munafik bercerita bak seorang patriotis kepada anak-anak muridnya? Malu. Aku penipu yang menjual cerita demi uang sepeser.

Tapi Kim Sensei justru menggelengkan kepalanya keras-keras.

“Tidak. Rina-san tidak perlu merasa dikhianati. Kamu tidak perlu merasa dirimu munafik. Tanah airmu ada di dalam hatimu. Teman-teman kamu, pelajaran di sekolahmu, lapangan tempat kamu bermain, lingkungan tempat kamu besar. Itu semua tidak akan berubah. Apa yang ada di dalam hatimu, tidak bisa direnggut oleh sebuah noda dalam sejarah. Kamu tetap orang Indonesia. Ke mana pun kamu pergi, di mana pun kamu tinggal. Rina-san tidak perlu berkecil hati. Rina-san bisa mencintai Indonesia dari jauh. Dan seandainya, kamu tidak sanggup mencintai Indonesia yang sekarang, cintailah Indonesia yang terekam dalam benakmu. Itu adalah kampung halamanmu. Itu tidak akan pernah berubah.”

Entah kapan terakhir kalinya aku merasa terhempas oleh kata-kata. Ucapan Kim Sensei seolah menyibakkan kabut, secercah sinar menghangatkan hatiku yang terluka.

Arigatou Gozaimasu.” Ucapan terima kasihku hampir tidak terdengar, tersaru oleh suara bel pelajaran. Tapi Kim Sensei pasti tahu ia telah membuat mataku terbuka. Ia tersenyum senang. Pipinya berkilat-kilat merah.

“Sudah waktunya Rina-san mengajar.” Aku mengangguk dan mengikutinya dari belakang. Suara bangku-bangku yang digeser dan pintu-pintu yang terbuka membahana dengan semarak di lorong sekolah. Semeriah gemuruh di dadaku.

Aku bukan seorang munafik. Aku cinta kampung halamanku. Aku mau bercerita tentang gunung-gunung dan lembahnya. Tentang kehangatan mataharinya. Tentang keakraban yang ditawarkan orang tak dikenal di dalam bus. Tentang ibu pertiwi yang selalu ada di dalam hatiku. Tentang tanah air-KU.

 

Catatan

Shinkansen  -  kereta super cepat antar kota

Ohayou gozaimasu – selamat pagi

Desu ne – (afirmasi) ‘kan?

Hai – iya

Ookii – besar

Sou desu ne – (persetujuan) iya, betul

Youkoso – selamat datang

Sou desu – iya betul

Shitsurei desu ga – (dipakai untuk menanyakan sesuatu yang sensitif) Maaf,

Ijime – (Inggris : bully) diskriminasi

Hokori ni omotte imasu –merasa bangga

He..nande? – Eee…kenapa?

Arigatou gozaimasu – terima kasih

 

*Organisasi pendidikan yang dimaksud dapat dilihat di http://www.kokusai-kyoiku.or.jp/