Sunday, April 27, 2008

WHY WOMEN WITH YOUNG CHILDREN CAN’T BE FASHIONABLE

WHY WOMEN WITH YOUNG CHILDREN CAN’T BE FASHIONABLE

 

When I was so much younger, and had all the time for myself, I used to despise those fat, unfashionable mothers. I thought they were too lazy and unmotivated to keep their shape. I told myself that I would never become one, having read so many articles in magazines about husbands finding comfort from younger women.

 

I was neither naturally beautiful nor glamorously packaged in water proof mascara or glittering lipstick. I was modest. But at least, I paid great attention in choosing my outfit. I didn’t settle for ordinary shawl, I bought cashmere. I walked entire 4 malls just to find a coat with the right color. My shoes were perfect. They had 3 Cm heels to support long walking, yet they looked chic and unique. Not just some bulky Hush Puppies. I guess, I was fashionable enough for my own standard.

 

You may have heard this a thousandth time, “Things change when you have a child.” They do! I still maintained my weight during early marriage period, but failed to keep it as a new life emerging inside me. Weight gain was perfect until my obstetrician declared that the baby was underweight. Suddenly, I found myself in a compulsory 2-egg-3-milk-daily diet. Insufficient, I was forced to eat ice cream every single day. Not to mention the usual must-have highly nutritious 3 meals. When you have to eat that much, mealtimes are tortures. Thanks to the routine, my baby was delivered at 3.3 Kg. (3 Kg is considered ideal for delivery).

 

Unfortunately, the rest of the nutrients went straight to me. Stubbornly sticking to my fat deposit, even up to the moment I’m writing this. Now, every time I see a fat mother (aside from the one I always gaze at the mirror), I forgive them. It’s not their will. It’s their obstetricians’!

 

As if not enough, I also have to abandon necklace and beautiful blouses. Anything shiny goes right to the baby’s mouth and when you have someone who rubs her face vigorously to your chest with the nose running, white blouse is a sacred object. It deserves the safest place possible: bottom of the wardrobe.

 

With the baby getting heavier, even 3 Cm heel shoe is not acceptable. You may trip and fall down easily. Even worse, you’re at risk of dropping the baby. Only flat heel footwear guarantees firm steps.

 

Lipstick, has transformed into a momentary formality. It’s on my lips, yes, but only stays there briefly before landing permanently on the baby’s cheek.

 

Now you see, women with young children just can’t afford to be fashionable. They trade it with more important things: baby’s welfare, practicability, and motherly love.

 

 

 

 

 

 

 

 

Thursday, April 24, 2008

Beda Pribumi, Bule dan China

Beda Pribumi, Bule dan China

 

Dapet forward-an yang agak sensitif...hmm..bener gak yah yg nulis org pribumi ? I doubt it. Tapi dia bener akan satu fakta : org Cina emang pelit. Contohnya...gue and family.

Nyokap gw emang wkt kecil miskin banget, engkong gw hampir dipenjara krn gak bisa bayar utang. Bokap gw juga dititip di saudara amah gw, krn amah gw gak sanggup menghidupi anaknya yg banyak.

Mungkin itu sebabnya mereka jadi irit, walau sekarang mereka udah berkecukupan.

Nyokap gw punya hobi ngumpulin kardus, kaleng dan botol plastik bekas yg bagus2, bekas kotak kue hadiah org Jepang atau bekas shampoo..sama dia dipake lagi buat tempat naruh obat, tempat naruh lap2 dst. Dia bahkan minta botol bekas minyak goreng gw di Jepang, katanya kalau nuang minyaknya gak netes2. Dia refill sama minyaknya dia sendiri. Jadi kalau pulang ke Indo, di koper gw ada aja tuh botol bekas minyak, bekas soft drink (buat botol minum adek gw ke kampus, katanya botolnya lebih tebel dari botol Aqua) hehehe..

Bokap selalu ngomel, "Papa gak pernah beli barang baru kecuali yg lama rusak ! Kok bisa2 nya kamu ngilangin  ini dan itu !" Hehehe..gw emang slebor.

Kepelitan itu emang mendarah daging sih..hihihi..anak gw tidur di kasur bayi bekas. Turunan dari sepupu2, anak gw udah bayi kelima di situ ! Yg pertama pake kasur bayi itu orgnya udah kuliah...Pindah ke Aussie, beli kasur bayi bekas dari e-bay..hihii...terus langsung dibanjiri baju2 bekas bayi sepupu gw yang udah kekecilan buat anaknya. (Sebenernya dia juga dapet bekas dari temen Gerejanya..) Hihihi..org bilang anak pertama kasian pake yg bekas-bekas...aih...maafkan ibumu ini Nak...abiss...pake 1-2 bulan juga udah sempit...

Tapi biarin ah...kepelitan itu kan sekarang lagi trend.

REUSE NOT RECYCLE   : )

---------------------------------------

Saya seorang pribumi yg dulunya benci setengah mampus sama WNI Keturunan Cina. Tetapi setelah h idup di Amerika selama 10 tahun dan sekarang bekerja di salah satu bank terbesar di dunia berpusat di New York City, pandangan saya berubah dan mengerti mengapa Cina itu berbeda dengan orang pribumi.

Dan sebenarnya banyak sekali hal-hal yg kita tidak mengerti tentang cina, dan hal-hal ini sebenarnya harus kita ketahui dan kita pikirkan lagi, karena hal-hal ini adalah sesuatu yg bisa kita pakai untuk kepentingan bangsa sendiri dan utk memajukan bangsa sendiri. Bukan saya bilang bahwa kita harus berubah jadi Cina, cuma kalau memang bagus mengapa tidak ? Dan memang ada juga hal-hal buruknya, tetapi semua bangsa juga punya.

 Marilah saya mulai pendapat saya tentang perbandingan antara WNI  asli dan keturunan cina :

 1. Perbedaan2 nyata Setelah bekerja tiga tahun lebih dan punya teman dekat orang bule dan orang Cina dari Shanghai di tempat kerja saya, saya melihat banyak sekali perbedaan-bedaan, diant aranya :

 

A. DUIT

a) Si bule, kalo gajian langsung ke bar, minum-minum sampe mabuk, beli baju baru, beli hadiah macam-macam untuk istrinya. Dan sisanya 10% di simpan di bank. Langsung makan-makan di restoran mahal, apalagi baru gajian.

b) Si Cina, kalau gajian langsung disimpan di bank, kadang-kadang  di invest lagi di bank, beli Saham, atau dibungain. Bajunya itu2 saja sampe butut. Saya pernah tanya sama dia, duitnya yg disimpen ke bank bisa sampe 75%-80% dari gaji.

c) Saya sendiri. kalo gajian biasanya boleh deh makan-makan  sedikit, apalagi baru gajian, beli baju kalo ada yg on-sale (lagi di discount), beli barang-barang kebutuhan istri, sisanya kira2 tinggal 15-20%  terus disimpen di bank.

 *** Kebanyakan di Amerika, orang Cina yang kerja kantoran  (sebenarnya Korea dan Jepang juga) muda-muda sudah bisa naik mobil bagus dan bis a mulai beli rumah mewah. walaupun orang tuanya bukan konglomerat dan bukan mafia di Cinatown. Malah mereka beli barang senangnya cash, bukan kredit. Soalnya mereka simpan duitnya benar-benar tidak bisa dikalahkan oleh bangsa lain. kalau bule atau orang hitam musti ngutang sampe  tau baru bisa lunas beli rumah.

 

B. KERJAAN

 a) si bule, abis kerja (biasanya jam kerja jam 8 pagi - 6 sore)  hari Senen sampai hari Jumat (Sabtu dan minggu tidak kerja)) ke bar ato makan-makan ngabisin gaji. Kalau disuruh lembur tiba-tiba, biasanya kesel-kesel sendiri di kantor. Biasanya kalo hari Senen, si bule tampangnya kusut, soalnya masih lama sampe hari Sabtu, pikirannya weekend melulu. Kalo hari Kamis, si bule males kerja, pikirannya hari Jumat melulu. Terus jalan-jalan gosip kiri kanan.

b) si Cina, abis kerja langsung pulang ke rumah, masak sendiri, nggak pernah makan diluar (saya sering ngajak dia makan, cuma tidak pernah mau, mahal katanya, musti simpan duit, kecuali kalo ada hari-hari khusus). Kalau disuruh lembur tidak pernah menolak, malah sering menawarkan diri untuk kerja lembur. Kalau disuruh kerja hari sabtu atau hari minggu juga pasti mau. Kadang-kadang dia malah kerja part-time (bukan sebagai pegawai penuh) di perusahaan lain untuk menambah uangnya.

c) saya sendiri, kalau disuruh lembur, agak malas juga  kadang-kadang karena sudah punya rencana keluar pergi makan sama teman-teman  kantor. Kadang-kadang ingin sekali pulang ke rumah karena di kantor melulu, cuma mau nggak mau mesti kerja (jadi kesannya terpaksa, nggak seperti si cina yg rela). Weekend paling malas kalau musti kerja.

 *** Bos-bos juga biasanya suka sama orang Cina kalau soal kerjaan.

Mereka soalnya pekerja yg giat dan tidak pernah bilang 'NO' sama boss.

Dapat kerja juga gampang kalau mukanya cina, karena dipandang sebagai 'Goo d Worker'. Atau pekerja giat. Jarang sekali, kecuali penting sekali dia tidak bersedia kerja lembur. Dan kalaupun tidak bersedia lembur, biasanya dia akan datang sabtu atau minggu, atau kerja lembur  besoknya.

C. RUMAH

 a) Apartment si bule, wah bagus sekali. gayanya kontemporari. Penuh dengan barang-barang perabotan dan furniture mahal. Pokoknya  gajinya pasti abis ngurusin apartment dia.

b) Apartment si cina, wah... kacau. Cuma ranjang satu, dilantai  saja.Meja butut, dan dua kursi butut. TV nya kecil sekali, TV kabel saja tidak punya. Pokoknya sederhana sekali. Waktu saya tanya, dia  bilang 'bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.' daerahnya pun  bukan didaerah mahal, tempatnya di daerah kumuh dan kurang ada yg mau tinggal.

 c) Apartment saya sendiri, yah lumayan, cuma istri saya suka juga  merias rumah. Jadi apa rtment saya lumayan lah tidak seperti punya si Cina.

 Saya benar-benar salut dia bisa hidup begitu. Padahal duitnya di bank banyak.

 Gaji dia saja lebih tinggi dari saya karena lebih lama di perusahaan  tersebut.

*** Setelah 10 taun, biasanya si bule, orang item, masih tinggal di apartment atau baru ngutang beli rumah, si cina sudah bisa beli rumah  sendiri. Karena nabung dengan giatnya, dan cuma beli yg penting-penting saja. Jadi uangnya ditabungkan sendiri.

 

*** Disini saja saya bisa lihat perbedaan-bedaan nyata, saya pertama-tama pikir, wah si Cina ini pelit amat. Masa duit banyak kayak begitu disimpan saja di bank. Dan kalau kita banding-bandingkan dengan sejarah orang-orang cina, kita akan tahu kenapa mereka (Cina) itu dalam long-range nya (jangka panjang nya) lebih maju dari pribumi di Indonesia, karena saya sempat bertukar pikiran dengan beberapa teman  lagi orang Cina lainnya, orang India, or ang Arab, orang Jerman,  orang  Amerika, dan orang Cina ini sendiri. Kita musti tau sejarahnya orang  Cina ini.

 

2. Perbandingan antara sejarah kebudayaan cina dan Indonesia JAMAN DULU

 

Bangsa cina adalah bangsa yg bangga dengan bangsanya, karena kebudayaan cina adalah salah satu kebudayaan yg tertua di dunia, hampir setahaf dengan Mesopotamia dan Mesir. Karena itu kebudayaan cina itu benar-benar menempel di sanubari nya. Susah sekali untuk melepaskan kebudayaan tersebut karena memang betul kebudayaan mereka itu hebat, terus terang, kalau kita bandingankan dengan kebudayaan kita (pribumi Indonesia ) kita tidak bisa mengalahkan kebudayaan orang cina. Dan memang kebudayaan  mereka sudah diakui dunia.

 

Menurut salah satu Journal of Archeology terkemuka di dunia, orang  Melayu itu unsurnya lebih banyak mengarah ke bangsa Mongol atau Cina.

 

Jadi bangsa Indonesia itu sebenarnya Cina, walaupun secara biologis dan&n bsp; evolusis, ada unsur-unsur dari India dan Arab di darah orang   pribumi.

 

Tetapi orang Indonesia (Melayu) itu sebenarnya genetik nya lebih dekat ke orang Cina.

 

orang cina itu sudah dari dulu 4000 tahun hidupnya diawang kesusahan  terus (maksudnya rakyat kecilnya). Negara cina dari jaman dulu, katanya,  sudah perang terus, rakyat kecil disiksa olah pemerintahnya sendiri,

 

dan pemerintahnya berganti-ganti terus. Orang cina bisa dibilang salah satu bangsa yang tahan banting. Sudah biasa menderita, dan makin menderita,  biasanya orang kan makin nekad dan makin berani, jadi semua jalan

 

ditempuh, namanya saja mau hidup, bagaimana. Ini juga terjadi di Indonesia .

 

Karena negaranya sendiri, Cina, banyak masalah, mereka imigrasi  kemana-mana. Mereka ada dimana-mana, teman saya orang item dari Nigeria   dan Ethiopia (afrika) bilang disana pun ada banyak orang cina. Dan  herannya. Cina-cina di Afrika pu n sukses dan bisa dibilang tidak miskin.

 

DI INDONESIA Di Indonesia sendiri, waktu saya masih tinggal diJakarta,  saya bisa melihat perbedaan-perbedaannya, cuma waktu itu pikiran saya  belum terbuka. Saya pernah buka punya teman orang cina di Senen  buka  toko kain. Di sebelahnya persis ada pak Haji yg juga buka toko  kain.  Setelah dua tahun, bisnis si cina makin maju, dan si pak Haji  sebelah  akhirnya bangkrut. Ternyata bukan karena si Cina main curang atau  guna-guna si pak haji. Ternyata itu karena si cina, walaupun sudah  untung, uangnya di simpan dan ditabung saja, untuk mengembangkan bisnisnya lagi. Dan dia dan istrinya makan telor ceplok saja 

 

Sedangkan  si pak haji baru untung sedikit sudah makan besar di restoran karena  gengsi sama keluarga nya.

 

Nah bukannya si pak haji ini salah ? Bukannya kita bisa lihat  sendiri  bahwa cina ini pikirannya le bih maju lebih melihat kedepan dan  lebih  tahan banting ? Saya kira ini adalah suatu hal yang bisa kita contoh

 

dari si Cina ini. Mungkin kita tidak usah terlalu pelit seperti dia,  tapi juga tidak usah gengsi-gengsian.

 

Saya sudah bertemu dengan banyak orang dari negara yg berbeda-beda  dan satu hal yg benar-benar nyata adalah orang yg TIDAK MEMBUAT  KEPUTUSAN  BERDASARKAN GENGSI biasanya NEGARANYA MAJU.

 

Coba saja lihat orang Hong Kong, orang Jepang, orang Inggris, orang  Amerika, orang Jerman dan orang Singapore, mereka sudah MAJU sekali  pemikirannya. Tidak seperti orang Indonesia . Kalau YA yah sudah bilang  YA, kalau TIDAK yah bilang TIDAK. Jadi tidak tidak ada yg tidak enak  hati. Kalau sudah lama tidak enak hati akhirnya berantem. 

 

 

Orang Indonesia sayangnya gengsinya tinggi sekali, tidak mau mengaku  kalau memang salah atau harus merubah sesua tu yg jelek.

 

Inilah kelemahannya.

 

Di mata Internasional bangsa Indonesia sudah terkenal sebagai NAZI  Jerman versi Asia Tenggara. Waktu perang dunia ke II bangsa Jerman  sedang miskin karena mereka kalah perang dunia ke I, supaya rakyat

 

tidak  marah, si Hitler yg cerdik sengaja menyalahkan orang Yahudi yg memang  kaya dan menguasai ekonomi Jerman. Dan orang Yahudi akibatnya dibantai  dan tidak diperlakukan sebagai warga negara sendiri. Padahal mereka  juga  sudah lama tinggal di Jerman dan sudah merasa sebagai bangsa sendiri,

 

walaupun mereka masih memegang kebudayaan mereka yg tinggi, sama seperti  cina di Indonesia .

 

Di Indonesia anehnya, pribumi benci dengan cina tetapi bukan dengan  orang Belanda atau orang Jepang. Kalau dipikir-pikir, cina itu  tidak  salah apa-apa. Saya sebagai pribumi baru sadar akan hal itu.

 

Belanda menyiksa bangsa Indonesia dan menguras harta bumi kekayaan  Indonesia selama 350 tahun dan setelah pergi meninggalkan penyakit  yg  paling bahaya dan mendarah daging, yaitu korupsi, yg sampai  sekarang  juga menimbulkan krisis ekonomi setelah 53 tahun merdeka rupanya  penyakit ini bukannya makin terobati, tetapi makan menusuk dan  menular  ke seluruh badan dan mental bangsa Indonesia.

 

Bangsa Jepang, cuma menguasai 3.5 tahun, tapi menyiksa bangsa  Indonesia   lebih kejam dari bangsa lain. Karena kalah perang, bangsa jepang,  yah  mau tidak mau sekarang musti menguasai dunia secara ekonomi tidak  bisa  lagi main angkat senjata.

 

Anehnya kita sebagai pribumi malah benci dengan cina bukannya  dengan  Belanda atau jepang. Lucu sih. Semua bangsa lain ( Korea , Cina ,  Burma ,  Vietnam , dan Afrika) benci dengan bekas penjajahnya bukan penduduk  sesama yg telah hidup bertahu n-tahun bersama-sama yaitu cina kalau  di  Indonesia .

 

Salah apa si cina-cina ini, tidak salah apa-apa. Kenapa mereka  kelihatannya buas dalam bisnis, tamak, dan rakus ? kenapa ? Karena > mereka selama tinggal di Indonesia selalu diperlakukan sebagai orang  luar dan di anak-tirikan. Coba bayangkan kalau anda-anda jadi cina,  pasti anda-anda juga mau melindungi diri sendiri, siapa yg mau  nggak  makan besok ? atau mati ? Yah, kalau begitu, mereka jadi cerdik,  agak  licik, mengambil kesempatan dalam kesempitan, jadinya berhasil  memegang  ekonomi indonesia . Tapi mereka juga bekerja keras, JAUH.....SANGAT  JAUH  LEBIH KERAS DARI KITA YG PRIBUMI. Bukan cuma di Indonesia saja. 

 

orang  cina sepertinya ditaruh dimana saja pasti sukses dan bekerja keras.

 

Mereka (cina) tidak menyerah pada nasib, dan selalu INGIN MENJADI  DUA  KALI LIPATKAN TARAF HIDUPNYA, kita yg pribumi, biasanya puas dengan  keberhasilan kita dan malas malasan karena merasa sudah diatas  angin.

 

Bagi cina2 ini tidak berlaku, mau setinggi apa juga, pasti bisa  lebih  tinggi lagi.

 

Kita saja yg bodoh, mau dengar omongan pemerintah yg brengsek dan  mengkambing hitamkan cina. Karena mereka sendiri juga busuk tetapi  takut  ketahuan. Jadi mereka menggunakan cina sebagai tameng dan kambing  hitamnya.

 

Gimana mau hidup sebagai negara yg maju coba ? Kalau tidak bersatu.

 

Negara yg maju harus bisa hidup dengan tentram satu sama lain tidak  perduli dengan warna kulit, agama, dan keturunan. Semuanya musti  diakui  sebagai satu bangsa.

 

Contohnya Amerika, mau cari orang dari mana saja ada. Cuma mereka  bersatu, dan mereka sadar tiap orang punya kejelekan masing-masing.

 

Cuma  tidak digembar-gemborkan, tapi dibicarak an dan dirubah. Yg bagusnya  diambil, dan dipakai bersama-sama untuk memajukan negara.

 

Tidak segan-segan, atau gengsi, kalau gengsi-gengsi maka tidak akan  maju. Harus open (terbuka) dan mau menerima kesalahan dan musti mau  berubah.

 

Life Is A Role Playing Game !!

 

 

 

 

NB: Ada beberapa hal yg perlu diluruskan, tidak semua orang Cina diseluruh dunia adalah orang sukses, masih byk juga diantara mereka yg hidup dibawah garis kemiskinan. Sebagai contoh bisa Anda lihat di daerah Tangerang, Banten. Disana masih banyak warga keturunan Cina yg sudah tinggal disana selama generasi (sehingga kulit merekapun sudah berbeda dgn keturunan Cina yang bermigrasi pada abad 20an), yang masih kesulitan untuk makan.

 

 

Diharapkan koreksi ini dapat menghilangkan stereotipe di Indonesia , bahwa semua orang keturunan Cina adalah orang kaya yang sukses

Tuesday, April 22, 2008

How tech keeps Olympic flame burning

Rating:★★★★
Category:Other
How tech keeps Olympic flame burning
Introduced at 1936 Berlin Olympics, torch still engineering work in progress
By Karolos Grohmann
Reuters
updated 11:38 a.m. ET April 9, 2008
ATHENS - The tradition of the Olympic flame is rooted in Greek sporting heritage dating back thousands of years but new technology keeps the fire burning whatever the elements — or modern-day protester — can throw at it.

Well, almost.

This week a torch was briefly extinguished in Paris to keep it from protesters opposing China's policy in Tibet.

The Olympic flame, though, did not go out.

Two lamps, lit from the original flame of Olympia, accompany the relay and help light thousands of torches carried by bearers who include celebrities, politicians and athletes on its 85,000 mile journey.

The Beijing torch burns on environmentally-friendly propane gas and its flame can last up to 15 minutes. Every torchbearer has a separate torch which they can buy to keep as a souvenir at the end of their run.

"(The gas) is composed of carbon and hydrogen. No material, except carbon dioxide and water remain after the burning, eliminating any risk of pollution," the Beijing Games organizing committee explains on its website.

The burning system itself was designed by China Aerospace Science and Industry Corporation.

The Sydney 2000 torch used a mix of butane and propane for a rich flame effect that could also burn underwater at the Great Barrier Reef.

The 28-inch tall Beijing torch, weighing 2.2 pounds, is always accompanied by several vehicles and security guards on foot, while one of two portable backup lamps, follows in a van.

"The flame will often go out during the relay, due to weather conditions or problems with the gas," said former Athens 2004 Games official Pierre Kosmidis, who accompanied the flame on its long international leg four years ago.

"When traveling by plane, the flame is kept inside two small portable lamps. Upon arrival the lamps are kept apart, one following the torch in a van in case it goes out and one kept at a separate location as backup," Kosmidis said.

Security guards running with the torchbearers turn off the torch at the end of the daily relays, before the torch is lit again from the lamps for the relay the next day.

Perfect flame
The torch, introduced for the first time at the 1936 Berlin Olympics, is still an engineering work in progress as technicians seek the perfect flame.

There was no relay in the ancient Games in Olympia, although there were several burning flames at those Games as well as flame races at the Panathenian Games to honor deities including Zeus and Prometheus, who, legend has it, stole fire from the gods and brought wisdom and knowledge to humankind.

The torch relay was introduced in 1936 and the first torch, constructed by the Krupp steel and munitions company, crucial to Adolf Hitler's war preparations, used solid fuel skewered on a needle inside the torch to burn the flame after it was lit from the sun's rays via a parabolic mirror in ancient Olympia.

The torch's general features have stayed more or less the same since then. It must be light enough to carry and must have a stable and visible burning system that will not singe the runner's hair or hands and will allow for media coverage.

That has not always been the case though.

The torch conceived for the 1968 Mexico City Games may arguably have been the most stylish one, but sparks flew during runs and the torch itself became too hot to handle, forcing organizers to quickly replace it with a modified version.


The Barcelona 1992 Games torch was also problematic, its plastic parts melting in the hands of several runners.

Torches in recent Games, including Beijing, have switched to using gas cartridges that allow greater control of the flame's size and color and are safer for runners.

Copyright 2008 Reuters. Click for restrictions.
URL: http://nbcsports.msnbc.com/id/24029213/


--------------------------------------------------------------------------------

MSN Privacy . Legal
© 2008 NBCSports.com

Sampah Management di Jepang

SAMPAH

Silvia Iskandar

http://tokyobeat2008.blogspot.com/

 

Di bulan-bulan yang basah ini, Indonesia harus berkali-kali mengalami banjir. Sistem pembuangan sampah yang belum tertata rapi, padatnya pemukiman di sepanjang sungai, daerah resapan yang disulap jadi gedung-gedung beton membuat banjir semakin parah setiap tahunnya. Kita cenderung menyalahkan pemerintah dan berdalih merekalah yang menyebabkan semua ini. Namun saya rasa, kita perlu introspeksi diri. Benarkah kita tidak ikut andil dalam memperburuk lingkungan ? Dari hal yang paling kecil sekalipun, seperti membuang sampah, kita bisa membuat perubahan besar.

 

Bangsa Jepang adalah bangsa yang sangat maju dalam penataan sampahnya. Jalan-jalan di Jepang bersih dari kantong plastik bekas, sandal rusak atau pun puntung rokok. Jepang menerapkan sistem saluran air bawah tanah sehingga tidak ada got berbau busuk yang tampak di permukaan jalan. Kalau hujan, air dengan cepat masuk ke sela-sela saluran air yang ada di trotoar dan mengalir ke bawah. Air juga dengan mudah kembali ke tanah, karena daerah resapan di kota-kota besar di Jepang jauh lebih banyak daripada di Indonesia. Bahkan kota metropolis yang padat seperti Tokyo pun punya begitu banyak taman yang besar-besar. Di sudut-sudut pemukiman padat, ada pula taman-taman kecil yang cantik walaupun besarnya hanya sepetak.

 

Kalau kita mau membuang sampah, yang pertama-tama harus kita lakukan adalah berpikir, apakah sampah ini terbakar atau tidak. Karena sampah terbakar dan tidak terbakar harus dipisah. Setiap ruangan di dalam gedung paling sedikit punya dua tong sampah. Bahkan di tempat-tempat umum seperti kantor dan supermarket ada lebih banyak lagi tong sampah untuk jenis sampah yang berbeda. Sampah botol beling, sampah kaleng sampah batere, sampah majalah atau koran, dan masih banyak lagi. Di rumah sakit ada tong sampah khusus untuk jarum bekas pakai. Di supermarket ada sampah untuk kardus bekas susu cair.

 

Sebagai negara elektronik raksasa, Jepang juga merupakan negara sampah elektronik. Hampir setiap tahun sekitar 6 juta buah komputer dibuang. Belum lagi kalau kita mengingat telepon genggam, televisi, kamera dijital dan lain sebagainya. Para produsen di Jepang bersaing ketat untuk merebut pembeli dengan cara membuat produk baru setiap tahunnya. Kebijakan yang ketat pun diberlakukan untuk sampah teknologi yang tidak terkira banyaknya. Biasanya setiap produsen bersedia mengambil sampah-sampah produknya kembali untuk didaur ulang. Tapi, kita harus ikut menanggung biaya daur ulang.Untuk membuang kulkas saja kita harus mengeluarkan biaya 3000 sampai 5000 yen, yaitu sekitar 350 ribu rupiah ! Ini adalah bentuk upaya pemerintah untuk mengurangi sampah. Sebelum membuang sesuatu, mau tidak mau kita berpikir dahulu, karena membuang sampah pun harus bayar !

 

Barang-barang besar seperti ranjang, meja atau kasur bekas, tidak bisa sembarangan dibuang. Pertama-tama kita harus membeli label di toko convenience store terdekat seperti AMPM. Label ini kemudian ditempel ke barang-barang yang akan kita buang. Untuk membuang sebuah kasur single bed, kita harus menempelkan label seharga kira-kira 800 yen atau 56 ribu rupiah. Kemudian kita harus menelepon kantor pemerintah daerah setempat dan mendaftarkan sampah ini untuk diambil.

 

Apa yang terjadi bila kita tidak mengikuti peraturan dan membuang sampah seenaknya ? Sampah-sampah kita tidak akan diangkut. Mobil pengangkut sampah akan membiarkan sampah kita teronggok begitu saja di depan rumah. Petugas sampah akan menempelkan stiker peringatan berisi instruksi-instruksi. Misalnya, label yang tertempel tidak cukup, sampah terbakar dan tidak terbakar tercampur, jadi harus dipisah, dan lain sebagainya.

 

Kesuksesan Jepang dalam mengolah sampah bukan sepenuhnya hasil upaya pemerintah. Masyarakat Jepang sendiri juga sangat disiplin dalam hal ini. Para perokok membawa asbak kecil ke mana pun mereka pergi. Bungkus permen atau tissue yang telah dipakai dalam perjalanan dimasukkan ke dalam tas untuk kemudian dibuang bila sudah menemukan tong sampah.

 

Memang kita masih sangat jauh tertinggal. Namun, ada satu hal yang sangat sederhana yang bisa kita lakukan. Tidak membuang sampah sembarangan. Cobalah membawa kantung kertas atau plastik untuk sampah dalam tas anda. Mari kita hindari membuang sampah ke jalan dan got. Hanya ada satu tempat untuk sampah. Yaitu di tong sampah !

 

Wednesday, April 9, 2008

Miscommunication

Rating:★★★★★
Category:Other
Miscommunication
Oleh Silvia Iskandar
ⒸTOKYO BEAT, Japan Foundation http://www.jpf.or.id/id/

Sebagai mahasiswa asing di Jepang, tahun-tahun pertama terasa begitu berat. Apalagi saya belajar di sebuah kampus yang mahasiswa asingnya segelintir. Bahasa Jepang yang masih pas-pasan membuat saya malas bicara. Setiap kali ingin mengatakan sesuatu, saya harus berpikir keras untuk menyusun kalimat. Belum lagi mengumpulkan keberanian untuk mengucapkannya. Was-was kalau ucapan saya salah, atau kalau mengatakan hal-hal yang konyol.

Sering kali saya harus menahan diri dan puas dengan situasi yang tidak menyenangkan, hanya karena saya malas bicara untuk mengubah keadaan. Misalnya, saya merasa kursi panjang yang saya duduki bersama dengan tiga orang pelajar lainnya di kelas agak terpisah dari meja. Saya kesulitan menulis karena tangan saya harus merentang begitu panjang untuk mencapai buku di atas meja. Tetapi saya diam saja. Saya tidak tahu bagaimana harus meminta ketiga orang lainnya untuk menggeser kursi yang kami duduki lebih mendekat ke meja. Akhirnya, setelah 90 menit duduk dalam kelas, saya pulang ke rumah dengan punggung dan pinggang yang pegal-pegal.

Bahasa Jepang belum saya kuasai sepenuhnya. Saya harus menebak-nebak isi pelajaran yang diterangkan oleh Sensei. Mencoba memahami pelajaran melalui gerak-gerik si guru, beberapa patah kalimat yang bisa saya tangkap, dan selebihnya, imajinasi. Saya cukup puas dengan keadaan ini sampai duduk di tingkat yang lebih tinggi. Pada suatu hari di tingkat tiga, kami membahas topik yang sama dengan yang kami pelajari di tingkat satu. Saat itu saya baru sadar kalau apa yang saya mengerti di tingkat satu ternyata salah. Pantas saja nilai ulangan saya waktu itu buruk !

Saya sangat sensitif terhadap pertanyaan ‘dari mana?’ Sebagai mahasiswa asing, setiap kali berkenalan dengan orang Jepang, pertanyaan ‘datang dari mana ?’ adalah pertanyaan kedua yang selalu harus dijawab setelah menyebutkan nama sendiri. Suatu kali di kelas, ketika sedang terantuk-antuk, tiba-tiba anak lelaki di depan menoleh dan bertanya, “Doko kara ?” “Dari mana ?”.. Segera saya jawab, “Indonesia.” Sambil berusaha keras bersikap seolah-olah sedang mendengarkan pelajaran. Dia menatap saya bingung, “Besok dari mana ?” dia mengulang pertanyaannya. Saya juga ikut bingung, bukankah kemarin, hari ini dan besok, saya tetap datang dari Indonesia? Saya ulang lagi jawaban saya. Saya dari Indonesia. Dia menggelengkan kepalanya, “Tugas buat besok, doko kara ? Dari mana ?” Ooooh…..rasa kantuk pun hilang dalam sekejap. Malu. Untunglah dia tidak menertawakan saya.

Suatu pagi saya bergegas masuk ke dalam kelas karena sudah terlambat. Tiba-tiba saja pintu kelas terbuka dan semua orang keluar. Saya bingung, dan bertanya pada salah seorang yang keluar. “Lho, tidak ada kelas ?” Dia menyengir dan menjawab pendek, “Nakunatta.” “Tidak ada.” Dengan girang saya pun meninggalkan kelas dan pergi ke mal terdekat. Minggu berikutnya saya duduk di kelas yang sama. Herannya, gurunya berbeda. Tetapi saya tidak ambil pusing. Pelajaran wajib itu bukan favorit saya, saya ada di sana hanya karena keharusan. Saya masih menghadiri kelas itu tiga kali lagi sampai semester berakhir. Tugas akhirnya begitu mudah, saya mendapat A.

Saya berkata kepada teman saya, kalau saya terkejut bisa mendapat A, karena tidak mengerjakannya dengan sepenuh hati. Teman saya pun memberitahu, semua murid yang menyerahkan tugas mendapat A, yang tidak menyerahkan tugas mendapat C. Guru pengganti bukan orang yang ahli di bidang yang kami pelajari. “Apa boleh buat, guru yang sebenarnya sudah tidak ada.” Katanya. “Tidak ada ?!” Saya shock. Saya telah salah mengartikan kata ‘Nakunatta’. Yang tidak ada bukan pelajarannya, tetapi gurunya ! Dia meninggal dunia!

Bahasa Jepang terdiri dari kombinasi suku kata, dan bukan huruf tunggal. Akibatnya, variasi bunyinya lebih sedikit dari bahasa Indonesia, dan banyak kata yang bunyinya sama tetapi arti dan tulisannya berbeda. Kata ‘Nakunatta’ bisa berarti ‘tidak ada’ tetapi bisa juga berarti ‘meninggal dunia’,. Bunyinya sama, namun huruf kanjinya berbeda. Tiba-tiba saya merasa sedih, walaupun guru itu tidak terlalu menarik, saya teringat betapa dia berusaha keras mengajar kami. Tangannya seperti ranting kayu, bajunya terlalu besar untuk tubuhnya yang kurus kering. Saya menyesal tidak menghargai dia dan menganggapnya tidak lebih dari seorang kakek tua yang membosankan. Sudah terlambat. Dia sudah tidak ada, nakunatta. Semester baru pun sudah dimulai. Pelajaran itu ditiadakan. Nakunatta.


Sakura

Rating:★★★★★
Category:Other
Sakura

Bunga Sakura yang bermekaran dari akhir bulan Maret sampai awal bulan April menandai akhir dan awal fase kehidupan yang penting di Jepang. Tahun ajaran sekolah berakhir secara resmi tanggal 31 Maret dan dimulai tanggal 1 April.

Berbeda dengan di Indonesia, di mana para mahasiswa yang baru lulus harus menghabiskan beberapa bulan untuk mencari pekerjaan sambil menganggur, di Jepang, perusahaan membuka kesempatan untuk para mahasiswa dari jauh-jauh hari. Bahkan setahun sebelum lulus, sudah ada kontrak yang ditandatangani. Oleh karena itu, begitu menyelesaikan kuliah di akhir bulan Maret, para mahasiswa yang baru lulus ini pun langsung berangkat ke kantor minggu berikutnya.

Bunga Sakura mekar dengan serentak dan beruntun, dari Selatan ke Utara. Negara Jepang adalah negara kepulauan yang bentuknya memanjang vertikal. Angin musim semi yang hangat merambat dari Selatan ke Utara, membangunkan kuncup-kuncup bunga Sakura yang tertidur pada musim dingin.

Sakura bukan bunga biasa. Sakura adalah bunga yang identik dengan bangsa Jepang sendiri. Bentuknya yang cantik banyak dipakai sebagai motif kimono, kerajinan pecah belah, juga simbol kepolisian dan militer. Dalam kehiduapn sehari-hari bisa ditemukan pada uang logam 100 yen. Televisi dan media massa serta merta menyajikan ramalan mekarnya bunga sakura di berbagai taman. Disiarkan bersamaan dengan ramalan cuaca di akhir acara berita. Seluruh Jepang tergila-gila padanya.

Ramalan mekarnya bunga sakura sangat penting karena begitu bunga ini mekar, pria, wanita, tua dan muda berduyun-duyun keluar rumah untuk piknik di bawah pohon bunga sakura. Hanami. Bunga sakura mekar dengan sempurna hanya sekitar seminggu lebih. Bayangkan saja betapa penuh sesaknya taman-taman pada saat seperti ini. Hanami sudah menjadi tradisi yang wajib bagi setiap kantor, sekolah, atau perkumpulan-perkumpulan warga seperti kursus kesenian atau klub olahraga. Bunga sakura dikejar di mana pun ia berada. Tidak hanya di taman atau di pinggir kali, pemakaman elit Aoyama Cemetary juga dijejali pengunjung yang berpiknik di antara nisan-nisan batu. Pemakaman ini jauh dari kesan angker di musim semi. Aoyama Cemetary sangat terkenal dengan pohon sakura-nya yang tumbuh demikian rapat sehingga membentuk terowongan bunga. Sakura Tunnel.

Sakura mewarnai Jepang dengan nuansa romantis di awal musim semi. Bunganya berwarna merah muda pucat dengan kelopak yang mungil dan rapat. Ranting pohon yang berwarna coklat kehitaman begitu kontras dengan warna bunga yang pucat. Berhimpit-himpitan menjejali ranting. Pada saat ini, bahkan tidak ada sehelai pun daun yang mengganggu. Daun hanya tumbuh setelah bunga gugur. Pada saat mekar, pohon sakura bagaikan rangkaian bunga raksasa yang rimbun. Begitu memikat. Memaksa setiap kepala untuk menoleh sekali lagi mengagumi keindahannya.

Pada saat gugur, kelopak bunga sakura yang hanya sebesar kuku manusia, rontok satu persatu, menyelimuti jalan aspal dan tanah coklat, membentuk jalur bunga. Seolah-olah akan ada pasangan pengantin yang hendak lewat. Angin musim semi yang tidak bisa ditebak kadang-kadang meniup serpihan-serpihan merah muda ini dari tanah dan membuatnya berputar di udara. Menciptakan tornado sakura setinggi dada, Fenomena alam yang begitu indah namun singkat.

Sakura menghiasi puisi, lagu dan karya-karya seni dari jaman dahulu. Baik visual maupun verbal, kuno maupun modern. Sakura identik dengan romantisme khas Jepang.

Tidak heran kalau ada takhayul yang menyarankan muda-mudi untuk mengungkapkan cinta di bawah terowongan bunga sakura. Sakura Tunnel. Konon, keindahan bunga sakura begitu memabukkan sehingga cinta yang ditawarkan tak akan dikembalikan dengan sia-sia. Benarkah demikian ? Silahkan berkunjung ke Jepang untuk membuktikannya.