Tuesday, May 13, 2008

Hina Matsuri-Japan Doll Festival

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hina Matsuri

Silvia Iskandar

http://tokyobeat2008.blogspot.com/

 

 

Memasuki bulan Maret, keluarga yang punya anak perempuan pun bersiap-siap memajang Hina Nin Gyou, atau boneka Hina. Hina Nin Gyou adalah sebutan untuk pajangan berbentuk raja dan ratu Jepang. Pada mulanya, boneka-boneka ini terbuat dari bahan-bahan sederhana seperti kertas dan kain, dan merupakan mainan anak-anak bangsawan di jaman Hei An, yaitu tahun 794-1185. Mungkin itulah sebabnya sampai sekarang pun kostum boneka ini menyerupai pakaian istana pada jaman itu.

 

Sang ratu mengenakan Junihitoe, atau kimono berlapis dua belas. Kimono ini merupakan pakaian sehari-hari wanita pada jaman itu dan konon, mereka bahkan tidur dengannya. Alis ratu dicukur habis dan diganti dengan garis lurus yang pendek dan tebal. Bibir sang ratu hanya diwarnai sedikit di tengah-tengah, membuatnya tampak semungil kelopak bunga. Sang raja duduk di samping ratu. Mengenakan kimono pria dengan topi tinggi yang bertengger di atas kepalanya. Biasanya boneka ini dihadiahkan oleh nenek dan kakek dari pihak ibu untuk cucu perempuannya.

 

Pada hari yang istimewa itu, anak-anak perempuan akan dimanjakan dengan makanan khas Hina Matsuri.

Chirashi Sushi, nasi yang diberi cuka beras dan dihias dengan otak-otak, telur dadar, rumput laut dan abon udang. Lauk yang berwarna-warni cerah ini dipotong kecil-kecil dan disebar di atas nasi. Sebagai pelengkapnya, O Sui Mono, sup bening yang berisi makanan laut. Ada pula Hishi Mochi, mochi berwarna hijau, putih dan merah yang ditumpuk jadi satu. Masing-masing melambangkan bumi, salju dan bunga Momo. Awal bulan Maret adalah masa peralihan dari musim dingin ke musim semi. Ketiga warna ini melambangkan keadaan alam. Rumput yang masih sedikit diselimuti salju, namun dinaungi bunga-bunga Momo yang bermekaran di pucuk pohon.

 

Sebagai snack, ada Hina Arare, krupuk beras manis berbentuk bola-bola mini sebesar biji merica, yang juga diberi warna yang sama.

 

Hidangan ditutup dengan Amazake, arak beras manis yang hangat. Rasanya mirip seperti susu fermentasi. Kadar alkoholnya rendah, namun cukup untuk menghangatkan tubuh anak-anak di awal musim semi yang masih dingin.

 

Boneka hina yang tadinya tidak lebih dari sebuah mainan, lama kelamaan berubah fungsi menjadi  penolak bala. Roh-roh jahat yang akan menyerang si pemilik dipercaya melekat ke boneka hina sebagai gantinya. Itulah sebabnya ada tradisi mengapungkan boneka hina yang sudah selesai dipajang ke sungai. Membuangnya, sekaligus roh jahat yang melekat padanya jauh-jauh.

 

Di jaman modern, boneka hina pun ber-evolusi. Bahan-bahannya semakin mahal, pakaiannya semakin mewah. Hina Nin Gyou yang tadinya hanya terdiri dari sepasang raja dan ratu, kemudian dilengkapi dengan boneka dayang-dayang dan pengawal yang menemani. Tradisi membuangnya ke sungai pun hanya dilakukan oleh beberapa daerah saja. Boneka hina yang terbuat dari kertas diapungkan ke sungai, tapi yang bagus disimpan untuk dipajang lagi tahun berikutnya.

 

Karena fungsinya sebagai penolak bala, Hina Nin Gyou tidak boleh diwariskan dari kakak ke adik, juga tidak dari ibu ke putrinya. Setiap gadis kecil punya satu set Hina Nin Gyou untuk keselamatannya. Boneka yang sudah dipakai dianggap telah menyimpan banyak petaka dari pemilik sebelumnya dan bisa memindahkannya ke si pemilik baru.

 

Pada waktu si pemilik menikah, Hina Nin Gyou bisa dibawa ke rumah pengantin  yang baru. Boleh terus dipajang tiap tahun, atau bila sudah merasa tidak perlu, bisa dititipkan di kuil. Masyarakat Jepang percaya, karena menyerupai manusia, boneka juga mempunyai jiwa. Upacara kremasi yang layak diadakan di kuil untuk boneka-boneka tersebut. Tanda terima kasih dari gadis-gadis pemilik yang selama ini telah dijaga dari marabahaya.

 

Hina Nin Gyou mulai dipajang sekitar seminggu sebelum Hina Matsuri yang jatuh pada tanggal 3 Maret. Dan begitu Hina Matsuri selesai, harus segera disimpan. Kepercayaan lama mengatakan si gadis pemilik akan berat jodoh bila Hina Nin Gyou dipajang terus. Takhayul yang edukatif mungkin, mendidik anak-anak untuk membereskan mainannya setelah selesai.

 

1 comment:

  1. hhm, sekarang udah di Sydney lebih rajin nulis lagi di MP hehehe :)

    ReplyDelete