Monday, May 19, 2008

Pengalaman Kerja Paruh Waktu di Jepang

Baito, adalah kependekan dari kata Arubaito. Bahasa Jepang yang berarti kerja paruh waktu. Kata Arubaito merupakan kata serapan dari bahasa Jerman, Albeit, yang artinya bekerja. Kurangnya tenaga kerja di Jepang memungkinkan para remaja dan muda-mudi mencicipi realitas kerja sambil belajar di sekolah. Hukum memperbolehkan para remaja yang sudah duduk di bangku SMA dan universitas untuk bekerja paruh waktu, atau baito.

 

Baito bisa dilakukan di mana saja dan jenis pekerjaannya luar biasa banyak. Ada yang merupakan pekerjaan jangka panjang seperti menjadi pelayan di restoran, menjaga toko, atau membantu memasukkan data ke komputer di kantor-kantor. Baito jangka panjang seperti ini punya jam kerja tertentu, beberapa jam dalam sehari dan beberapa hari dalam seminggu.

 

Ada pula yang merupakan pekerjaan musiman, seperti menjadi pelayan hotel di daerah ski selama liburan musim dingin. Seorang teman saya melakukannya setiap tahun. Dia hobi bermain ski. Dengan baito ini, selain mendapat imbalan uang, ia diperbolehkan menginap gratis dan main ski sepuasnya di saat tidak bekerja.

 

Bila tidak punya waktu banyak, tapi butuh uang dalam waktu singkat, bisa juga melamar untuk baito di acara-acara khusus, seperti pameran atau pesta pernikahan. Biasanya baito kilat seperti ini berlangsung sepanjang hari. Dari pagi sampai malam, di akhir pekan. Tubuh dipastikan pegal-pegal, tapi imbalan yang didapat juga jauh lebih besar.

 

Saya sendiri pernah baito mengajar bahasa Indonesia untuk orang Jepang. Kebanyakan murid saya adalah para karyawan yang pekerjaannya berhubungan dengan Indonesia, atau turis-turis yang jatuh cinta pada Pulau Bali. Mengajar bahasa Indonesia merupakan baito yang paling mudah dilakukan untuk mahasiswa asing asal Indonesia. Kita tidak harus fasih berbahasa Jepang untuk melakukannya.

 

Saya mengajar di sebuah kursus bahasa asing, jadi bukan hanya bahasa Indonesia saja, bahasa Cina, Vietnam, Inggris, Spanyol dan bahasa-bahasa lainnya juga diajarkan di sana. Yang menarik ialah, seiring dengan berkurangnya peminat bahasa Indonesia, peminat bahasa Thailand semakin bertambah banyak. Tidak stabilnya kondisi ekonomi dan politik di Indonesia setelah krisis ekonomi pada tahun 1998 telah mendorong banyak perusahaan Jepang memindahkan basisnya ke Thailand. Para turis yang ketakutan pun mengubah tujuan wisata mereka dari Pulau Bali ke Pantai Phuket di Thailand.

 

Saya merasa sedih waktu kelas bahasa Indonesia saya ditutup. Tidak ada lagi yang mendaftar. Bukan saja kehilangan tambahan uang saku, saya juga merasa malu. Seolah-olah saya datang dari negara yang tidak patut dikunjungi, yang bahasanya tidak perlu dipelajari. Padahal Bali pernah menjadi tujuan utama turis Jepang selama puluhan tahun.

 

Baito,  bukan hanya memberi tambahan uang saku bagi para muda-mudi di Jepang, tapi juga merupan ajang untuk bertumbuh dewasa. Para pemuda belasan tahun belajar tentang etos kerja di tempat baito, hal-hal yang tidak diajarkan di sekolah. Baito juga membuka kesempatan untuk bertemu dengan berbagai orang dari latar belakang yang berbeda.  Seorang teman saya menikah dengan pemuda yang dikenalnya di tempat baito, ada pula teman lain yang mendapat pekerjaan dari muridnya.

 

Saya bersyukur pernah mengalami masa-masa baito. Dan saya senang adik-adik kelas saya juga melakukannya. Dengan baito, kami diberi kesempatan untuk mencicipi pekerjaan kasar seperti pelayan restoran, tukang potong ikan, atau bahkan tukang parkir. Pengalaman ini membuat kami lebih menghargai orang lain yang kurang beruntung, yang sepanjang hidupnya terpaksa melakukan kerja kasar. Pengalaman baito melatih kami menjadi orang yang punya toleransi dan rasa hormat terhadap orang lain. Menjadi orang dewasa dalam arti yang sesungguhnya.

 

Silvia Iskandar

Copyright TOKYO BEAThttp://tokyobeat2008.blogspot.com/

1 comment: