Wednesday, April 9, 2008

Miscommunication

Rating:★★★★★
Category:Other
Miscommunication
Oleh Silvia Iskandar
ⒸTOKYO BEAT, Japan Foundation http://www.jpf.or.id/id/

Sebagai mahasiswa asing di Jepang, tahun-tahun pertama terasa begitu berat. Apalagi saya belajar di sebuah kampus yang mahasiswa asingnya segelintir. Bahasa Jepang yang masih pas-pasan membuat saya malas bicara. Setiap kali ingin mengatakan sesuatu, saya harus berpikir keras untuk menyusun kalimat. Belum lagi mengumpulkan keberanian untuk mengucapkannya. Was-was kalau ucapan saya salah, atau kalau mengatakan hal-hal yang konyol.

Sering kali saya harus menahan diri dan puas dengan situasi yang tidak menyenangkan, hanya karena saya malas bicara untuk mengubah keadaan. Misalnya, saya merasa kursi panjang yang saya duduki bersama dengan tiga orang pelajar lainnya di kelas agak terpisah dari meja. Saya kesulitan menulis karena tangan saya harus merentang begitu panjang untuk mencapai buku di atas meja. Tetapi saya diam saja. Saya tidak tahu bagaimana harus meminta ketiga orang lainnya untuk menggeser kursi yang kami duduki lebih mendekat ke meja. Akhirnya, setelah 90 menit duduk dalam kelas, saya pulang ke rumah dengan punggung dan pinggang yang pegal-pegal.

Bahasa Jepang belum saya kuasai sepenuhnya. Saya harus menebak-nebak isi pelajaran yang diterangkan oleh Sensei. Mencoba memahami pelajaran melalui gerak-gerik si guru, beberapa patah kalimat yang bisa saya tangkap, dan selebihnya, imajinasi. Saya cukup puas dengan keadaan ini sampai duduk di tingkat yang lebih tinggi. Pada suatu hari di tingkat tiga, kami membahas topik yang sama dengan yang kami pelajari di tingkat satu. Saat itu saya baru sadar kalau apa yang saya mengerti di tingkat satu ternyata salah. Pantas saja nilai ulangan saya waktu itu buruk !

Saya sangat sensitif terhadap pertanyaan ‘dari mana?’ Sebagai mahasiswa asing, setiap kali berkenalan dengan orang Jepang, pertanyaan ‘datang dari mana ?’ adalah pertanyaan kedua yang selalu harus dijawab setelah menyebutkan nama sendiri. Suatu kali di kelas, ketika sedang terantuk-antuk, tiba-tiba anak lelaki di depan menoleh dan bertanya, “Doko kara ?” “Dari mana ?”.. Segera saya jawab, “Indonesia.” Sambil berusaha keras bersikap seolah-olah sedang mendengarkan pelajaran. Dia menatap saya bingung, “Besok dari mana ?” dia mengulang pertanyaannya. Saya juga ikut bingung, bukankah kemarin, hari ini dan besok, saya tetap datang dari Indonesia? Saya ulang lagi jawaban saya. Saya dari Indonesia. Dia menggelengkan kepalanya, “Tugas buat besok, doko kara ? Dari mana ?” Ooooh…..rasa kantuk pun hilang dalam sekejap. Malu. Untunglah dia tidak menertawakan saya.

Suatu pagi saya bergegas masuk ke dalam kelas karena sudah terlambat. Tiba-tiba saja pintu kelas terbuka dan semua orang keluar. Saya bingung, dan bertanya pada salah seorang yang keluar. “Lho, tidak ada kelas ?” Dia menyengir dan menjawab pendek, “Nakunatta.” “Tidak ada.” Dengan girang saya pun meninggalkan kelas dan pergi ke mal terdekat. Minggu berikutnya saya duduk di kelas yang sama. Herannya, gurunya berbeda. Tetapi saya tidak ambil pusing. Pelajaran wajib itu bukan favorit saya, saya ada di sana hanya karena keharusan. Saya masih menghadiri kelas itu tiga kali lagi sampai semester berakhir. Tugas akhirnya begitu mudah, saya mendapat A.

Saya berkata kepada teman saya, kalau saya terkejut bisa mendapat A, karena tidak mengerjakannya dengan sepenuh hati. Teman saya pun memberitahu, semua murid yang menyerahkan tugas mendapat A, yang tidak menyerahkan tugas mendapat C. Guru pengganti bukan orang yang ahli di bidang yang kami pelajari. “Apa boleh buat, guru yang sebenarnya sudah tidak ada.” Katanya. “Tidak ada ?!” Saya shock. Saya telah salah mengartikan kata ‘Nakunatta’. Yang tidak ada bukan pelajarannya, tetapi gurunya ! Dia meninggal dunia!

Bahasa Jepang terdiri dari kombinasi suku kata, dan bukan huruf tunggal. Akibatnya, variasi bunyinya lebih sedikit dari bahasa Indonesia, dan banyak kata yang bunyinya sama tetapi arti dan tulisannya berbeda. Kata ‘Nakunatta’ bisa berarti ‘tidak ada’ tetapi bisa juga berarti ‘meninggal dunia’,. Bunyinya sama, namun huruf kanjinya berbeda. Tiba-tiba saya merasa sedih, walaupun guru itu tidak terlalu menarik, saya teringat betapa dia berusaha keras mengajar kami. Tangannya seperti ranting kayu, bajunya terlalu besar untuk tubuhnya yang kurus kering. Saya menyesal tidak menghargai dia dan menganggapnya tidak lebih dari seorang kakek tua yang membosankan. Sudah terlambat. Dia sudah tidak ada, nakunatta. Semester baru pun sudah dimulai. Pelajaran itu ditiadakan. Nakunatta.


6 comments:

  1. no worries so much,
    namanya juga belajar bukan?
    pastinya juga otak kaya di squeeze,
    tapi kembali kepada namanya juga belajar, daijoubu yoo..
    cuek aja maen tabrak..
    jangan takut salah, orang nihongo kan bukan bahasa ibu kita toh..
    orang belajar kan ga akan langsung pinter darling..
    dan dari proses berkomunikasi dengan orang asing lah
    justru akhirnya kita akan lebih mengenal pribadi dari lawan bicara kita,
    biasanya,
    orang yg care, dia akan membimbing kita dengan otomatis, menghargai upaya kita dalam berbicara
    dan orang yg jail sih bakal ketawa kalo kita salah2 kate..
    ganbatte kitte kudasaii ne'..

    ReplyDelete
  2. Hihihi..makasih mbak. Itu sebenernya cerita lama kok. Aku dah sotsugyou sama yg maen tabrak gitu. Temennya mbak Novi yah...salam kenal. Aku dulu di Tokyo 9 thn. Tapi nyantolnya sama org Indo juga hehehe

    ReplyDelete
  3. hehehe .. silvi lagi bernostalgia ya ? ^_^

    ReplyDelete
  4. iya mbak nov. Aku dpt baito dari temen yg produser TOKYO BEAT, programnya JF. Disuruh nulis ttg Jepang buat rajio bangumi. Lumayan....stelah punya baby dan gak kerja jadi krisis identitas nih.. Dengan baito ini aku bisa ngomong, I'm a writer...gitu looo...tada no shufu ja arimasen !

    ReplyDelete
  5. masih di jakarta ya? kapan nyusul suami?

    ReplyDelete
  6. gak mbak, udah nyusul sejak akhir februari. Main ke sini mbak. Kotanya cantik.

    ReplyDelete